analisis cerpen peri pemetik air mata


ANALISIS LATAR DAN PENOKOHA PADA CERPEN
“PERI PEMETIK AIR MATA” KARYA AGUS NOOR





Disusun Oleh :
Dini Puspita Sari
Kelas XII IPA 3




th.jpg




KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
MADRASAH ALIYAH NEGRI 1 (MAN) KEDONDONG
PESAWARAN
2014
KATA PENGANTAR

Puji sukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan Rahmat serta KaruniaNya kepada  kami sehingga kami berhasil  menyelesaikan Analisis Crpen ini yang Alhamdullilah tepat pada waktunya yang berjudul “Peri Pemetik Air Mata”.
Diharapkan Analisis Crpen ini dapat  memberikan  imformasi  kepada kita semua tentang Peri Pemetik Air Mata jika dilihat dari berbagai aspek. kami menyadari bahwa Analisis Crpen ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran  dari semua  pihak yang  bersipat  membangun selalu kami  harap kan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampai kan  terima kasih kepada semua  pihak yang telah  berperan serta  dalam penyusun makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai  usaha kita. Amin




Kedondong, Noember 2014
Penyusun











DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL  ............................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii

BAB I        PENDAHULUAN................................................................... 1

BAB II       KAJIAN TEORI...................................................................... 2
II.1   Latar ................................................................................ 2
II.2   Penokohan ...................................................................... 5

Bab III       PEMBAHASAN                                          ............................ 7
III.1 Analisis Latar  ................................................................. 7
III.2 Analisi Penokohan .......................................................... 9

BAB IV     PENUTUP ............................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 14
LAMPIRAN ............................................................................................... 15




BAB I
PENDAHULUAN

Alasan saya memilih cerpen “Peri Pemetik Air Mata” Karya Agus Noor karna saya tertarik dengan cerita yang terdapat pada cerpen tersebut tentang kasih saying yang begitu tulus dari seorang anak dan ibunya. Serta banyak nilai-nilai an pelajaran yang dapat dambil untuk mengubah diri kita menjai proibadi yang lebih baik.
Cerpen ini menceritakan tentang seseorang anak yang sangat saying kepada ibunya hamper setiap malam ibunya menangis rasa tak tega anaknya tersebut melihat ibunya menangis ia selalu berharap datang peri pemetik air mata untuk menghibur ibunya meskipul hal itu mustahil terjadi. Pelajaran hiup seorang ibu yang begitu kelam karena ia harus menghiupi anaknya semata wayang ia rela melakukan apa saja untuk menghiupi kebutuhannya dan anaknya.
Sampai-sampai ibu itu menjalankan pekerjaan yang tak halal meskipun begitu ia sangat menyesali perbuatannya ia selalu tegas supaya anaknya tidak menjadi pribadi yang hancur seperti dirinya.
Berdasarkan unsure instrinsik yang terdapat pada cerpen Peri Pemetik Air Mata karya Agus Noor penulis tertarik menganalisis unsure instrinsik latar dan penokohan.











BAB II
LANDASAN TEORI

II. 1   Latar
II.1.1 Pengertian Latar
a.    Pengertian Hakikat Latar
Berhadapan dengan karya fiksi, pada hakikatnya kita berhadapan dengan sebuah dunia, dunia dalam kemungkinan, sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun tentu saja, hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman hidupnya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata. Dengan kata lain, fiksi sebagai sebuah dunia, disamping membutuhkan tokoh, alut, dan plot juga perlu yang namanya latar.
Latar yang disebut juga sebagai landas tumpu, meyaran kepada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175). Stanton (1965) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta atau cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Atau, ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan. Misalnya, dalam Bawuk karya Umar Kayam yang dengan tokoh utama Bawuk, cerita terjadi di Karangrandu, waktu sejak zaman penjajahan Belanda dan terutama sekitar masa pemberontakan G-30-S/PKI, lingkungan social Jawa kelas menengah atas.
Tahap awal karya fiksi pada umumnya brisi penyituasian, pengenalan terhadap yang diceritakan misalnya, pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan suasana, tempat, mungkin juga hubungan waktu dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada suatu cerita.
Latar Fisik Dan Spritual. Membaca sebuah novel kita akan bertemu dengan lokasi tertentu seperti; nama kota, jalan, rumah, dan lain-lain tempat terjadinya pristiwa. Disamping itu, kita juga berurusan dengan hubungan waktu seperti; malam, siang, pukul, tanggal, keadaan geografis, atau kejadian yang menyaran pada waktu tipikal tertentu dan sebagainya.
b.    Latar Netral Dan Tipikal
Latar netral tidak memiliki dan tidak mendiskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang mungkin dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Sifat yang ditunjukan latar tersebut lebih bersifat umum terhadap hal yang sejenis misalnya, desa, kota hutan, pasar, sehingga hal tersebut dapat berlaku dimana saja.
Latar tipikal memiliki dan menonjolkan sifat yang khas latar tertentu. Misalnya pada saat membaca Pengakuan Pariyem kita akan merasakan dominannya lingkungan social yang yang digambarkan, yaitu lingkungan masyarakat jawa. Dengan maksud agar pembaca terkesan dan dapat membandingkannya bahwa karya tersebut benar adanya dengan kenyataan realitisnya.
c.    Penekanan Unsur Latar
Penekanan unsur-unsur latar bermaksud memperjelas suatu cerita baik itu dari gaya bahasa, karakter tokoh, geografis, social budaya, dan sebagainya. Sehingga membuat pembaca mejadi lebih pekah atau lebih memahami bahan bacaannya.
d.   Latar Dan Unsur Fiksi Yang Lain
Latar sangat erat kaitannya dengan unsur fiksi yang lain dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan bisa dikatakan bahwa sifat seseorang dibentuk oleh latarnya. Suatu contoh bisa kita lihat pada perbedaan sosial budaya, pola pikir, tingakah laku dan yang lainya pada setiap tokoh.
II.1.2 Unsur-unsur Latar
          Melalui analisis terhadap latar, seseorang dapat mengetahui bagaimana keadaan, pekerjaan, dan status sosial para tokoh. Seringkali latar juga berhubungan erat dengan nasib seorang tokoh dalam sebuah teks. Artinya lingkungan sekitar kerap memberikan efek secara langsung terhadap apa yang dikerjakan seorang pelaku. Ketika hujan dan seorang tokoh sedang berjalan, maka ia akan mencari tempat berteduh dan jika ia mempunyai payung maka ia akan segera menembus hujan. Tapi bila tidak sangat mngkin ia akan melakukan interaksi dengan orang yang juga tengah berteduh. Secara umum latar dibagi dalam:
a.    latar tempat
Latar tempat ialah tempat atau daerah terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Sangat mungkin latar tempat sebuah karya fiksi terdapat di dalam ruangan dan tidak menutup kemungkinan latar tempat terjadi di ruang lingkungan. Di jalanan atau di sebuah kota misalnya.
b.    Latar Waktu
Latar waktu ialah waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar waktu bisa berupa detik, menit, jam, jari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Tetapi juga sangat mungkin pengarang tida menentukan secara persis tahun, tanggal atau hari terjadinya peristiwa, namun hanya menyebutkan saat Hari Raya, Natal, tahun baru dan sebagainya yang pada akhirnya juga akan engacu kepada waktu seperti tanggal dan bulan tergantung latar tempat dalam cerita. Misalnya tahun baru di Indonesia identik dengan 1 Januari, namun di Arab tahun baru lebih identik pada 1 Muharram.
c.    Latar Sosial
Latar sosial ialah lingkungan hidup dan sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah para tokoh dalam sebuah cerita. Pada umumnya latar sosial berhubungan erat dengan tiga latar lainnya. Misalnya seorang mahasiswa umumnya tinggal di kos dan hanya memiliki dua buah gelas di kamarnya dan seseorang bisa dipastikan menduduki kelas sosial yang tinggi dalam sistem kehidupan bila ia memiliki sopir dan pergi dengan alat transportasi mobil BMW.
d.   Latar Alat
Latar alat ialah benda-benda yang digunakan tokoh dalam sebuah cerita dan berhubungan dengan suatu lingkungan kehidupan tertentu. Misalnya laptop, pena, buku catatan, KTM merupakan alat-alat yang khas dimiliki mahasiswa.
e.    Anakronisme
Ketidaksesuaian dengan urutan perkembangan waktu dalam sebuah cerita. Seperti, ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah biasanya menggunakan dua waktu yang berbedah dalam masa berlakunya dalam satu waktu pada sebuah karya fiksi. Penyebab anakronisme berupa masuknya “waktu” lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau sebaliknya masuknya waktu masa “kini” ke dalam cerita yang berlatar waktu lampau. Waktunya bisa berupa situasi, keadaan tempat, budaya, benda-benda tertentu, nama, bahkan juga bahasa, yang hanya dimiliki oleh atau telah dimiliki pada waktu tertentu.

II.3    Penokohan
II.3.1Definisi Penokohan
          Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005: 165). Jones dalam Nurgiyantoro (2005: 165), mengungkapkan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (2005: 165), penggunaan istilah “karakter” sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, menurut nurgiyantoro (2005: 165), karakter dapat berarti “pelaku cerita” dan dapat pula berarti “perwatakan”. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya, memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tak jarang, langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (2005: 166), istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” karena “penokohan” sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Menurut Sudjiman (1991: 58), penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Tokoh-tokoh perlu menggambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar kualitas tokoh, nalar, dan jiwanya dikenal oleh pembaca.



















BAB III
PEMBAHASAN

III.1  Analisi Latar
1.    Latar Waktu
1.1    Malam hari
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Sandra sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2 dini hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya.”

2.    Latar Tempat
2.1    Rumah Sandra
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah”.

2.2    Latar lain yaitu di sekolah Bita.
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
”Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi adu jangkrik.”
2.3    Kamar
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang Sandra terisak pelan, ”Mama… Mama….” Pipinya basah air mata.”

2.4    Jalan
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Sandra tak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa.
”Air mata, Bu? Murah… Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”

2.5    Sekolah Bita
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal air mata miliknya.”

3.    Latar Suasana
3.1    Suasana menyedihkan
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Mamanya memang sering menangis terisak malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis.”
3.2    Susana menyenangkan
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan.”
“Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna.”

3.3    Suasana menegangkan
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya, tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”

III.2 Tokoh dan Penokohan
1.    Tokoh Sandra
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes.
”Kenapa Mama menangis?”
”Tidak, Sandra… Mama tidak menangis.”
”Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”
”Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”
”Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?”
”Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”
2.    Sandra dan Bita
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Tidak, tidak tapi Sandra tak mengucapkannya.
”Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”
Sandra mencoba tersenyum.
“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan mencium keningnya”.

2.    Perwatakan Tokoh
2.1    Sandra baik
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut menciumi Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang Sandra terisak pelan, ”Mama… Mama….” Pipinya basah air mata”.

2.2    Sandar Jahat
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Bahkan Sandra tahu kalau Mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan menjadi wanita baik-baik, Sandra.”

2.3    Mama baik
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Mamanya pasti akan langsung membentak bila tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah. Suara Mama memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya, tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!.”

2.4    Mama Jahat
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan.”


2.5    Bita
Hal ini terdapat pada kutipan berikut:
“Kenapa penjual itu mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok. Cobalah Mama dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang dan paling menyedihkan yang menang.”




















BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan unsure instrinsik yang saya analisis berupa latar dan penokohan berupa cerpen “Peri Pemetik Air Mata” karya Agus Noor dapat disimpulkan bahwa cerita ini terdiri dari dua tokoh utama yaitu mamanya yang memiliki sifat emosional dan penyayang sedangkan Sandra memiliki sifat pembohong dan cerewet. Sedangkan yang terdapat pada latar tempat yaitu Gua, Jalan, Tempat Tidur, Kafee, Losmen, yang terdapat pada latar suasana yaitu Senang dan Sedih.






















DAFTAR PUSTAKA

Ginanjar, Nurhayati. 2012. Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta.
Noor, Agoos. 2009. Cerpen Pemetik Air Mata. Yogyakarta.



























LAMPIRAN
“Peri Pemetik Air Mata”

Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan-kadang lebih dari dua puluhseperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk, kemudian pelan-pelan memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru menadahkan cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap butir air mata akan menjelma kristal.
Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang dipetik itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung tirai marmer bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang bercecabang di langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang. Butir-butir air mata itu ditata menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan.
Seorang pencuri sarang walet menemukan tempat peri-peri pemetik air mata itu tak sengaja. Setelah berhari-hari menyelusup celah gua, ia merasakan kelembaban udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras mencari jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian. Kesepian gua itu begitu hitam dan mengerikan. Bahkan kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih menjahuinya. Sayup jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti berada di dunia yang berbeda. Semua suara seperti lesap—bahkan ia tak mendengar suara napasnya sendiri—dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan yang bukan berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang membuatnya limbung dan perlahan-lahan seperti mulai mengapung.
Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, menggema dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan itu berasal dari butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris memenuhi seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil tampak beterbangan lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air mata itu memang memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di dalamnya. Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan itu telah menjelma kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang terdengar bagaikan simfoni kesedihan yang agung.
Ketika akhirnya lelaki pencuri sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian dijualnya eceran. Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran dan perempatan jalan.
***
Sandra tak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa.
”Air mata, Bu? Murah… Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”
Dulu, semasa kanak, setiap kali melihat Mamanya diam-diam menangis, Sandra selalu berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering menangis terisak malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis. Tapi Sandra berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan langsung membentak bila tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
Suara Mama memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya, tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra tahu kalau sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila pulang setelah pergi berhari-hari-Mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota atau entah ke mana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah menerima pager-selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka. Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.
Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan.
Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes.
”Kenapa Mama menangis?”
”Tidak, Sandra… Mama tidak menangis.”
”Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”
”Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”
”Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?”
”Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”
Lalu Mama kembali membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata.
Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian, hingga meneteskan sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang, makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ke tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul sepasang manusia pertama. Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah kesedihan. Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan, yang buah-buah bening segarnya selalu bercucuran dari ranting-rantingnya. Setiap kali datang musim semi, peri-peri itulah yang selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum, yang membuat manusia tergoda menikmatinya.
Saat manusia sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada manusia menangis malam-malam, peri-peri itu akan muncul dan memetik air matanya yang bercucuran.
Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut menciumi Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang Sandra terisak pelan, ”Mama… Mama….” Pipinya basah air mata.
Bahkan saat itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul. Itulah sebabnya ia tak percaya.
***
Tapi Bita, anak semata wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia membelinya dari seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencuri sarang walet yang menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata anaknya yang berumur 10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual kristal air mata itu.
”Itu bohong, sayang…”
”Kenapa penjual itu mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok. Cobalah Mama dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang dan paling menyedihkan yang menang.”
Bita menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya di sisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal air mata itu mengeluarkan tangisan. ”Bita senang mendengar tangisan mereka yang merdu, Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?”
Tidak, tidak—tapi Sandra tak mengucapkannya.
”Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”
Sandra mencoba tersenyum.
”“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar, terdengar suara Bita,
”Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?”
Sandra tersenyum. ”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu kan tahu, Papamu sibuk.…”
Lalu mematikan lampu.
***
Suaminya tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap memikat seperti saat pertama kali Sandra melihatnya, ketika suatu malam ia menyanyi di sebuah kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya oleh senyum itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah membuatnya percaya, bahwa ia akan menemukan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin nasibnya berakhir celaka seperti Mamanya: digeroti penyakit kelamin saat tua dan ditemukan mati tergorok di losmen murahan.
Tidak. Tidak. Sandra tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan Sandra tahu kalau Mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan menjadi wanita baik-baik, Sandra.”
”Seperti Mama?”
”Tidak. Kamu jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama….”
Sandra merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya suami yang mencukupi hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh perhatian yang pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang hanya iseng terhadapnya.
Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu memang menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka gaunnya, dan bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu merangsanya untuk menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang perlahan meregang. Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.
”Kamu menyenangkan sekali malam ini,” desah laki-laki itu tersengal, setelah lenguh panjang dan berbaring lemas memeluk Sandra.
”Makanya kamu nginep saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.”
Ketika laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi makan. Dan Sandra selalu mengatakan ”Papamu sibuk…” setiap kali Bita bertanya kenapa Papa enggak pernah ikut?
Sandra tahu malam ini laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2 dini hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?
Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri simpanan.
Sandra merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri pemetik air mata itu muncul malam ini.

Comments

Popular posts from this blog

makalah dasar-dasar komputer

Mendengarka Informasi Dari Berbagai Sumber