Analisis cerpen juru masak karya damhuri muhammad
CERPEN “JURU MASAK”
Karya : Damhuri Muhammad
Disusun Oleh
Ampi Melani Cahya Putri
XI MIPA 4
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
MADRASAH ALIYAH NEGRI (MAN) 1 PESAWARAN
PESAWARAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan, kesehatan dan lain-lain, sehingga analisis cerpen ini
telah selesai disusun dengan pokok pembahasan mengenai “merelakan cinta untuk
sahabat“. Analisis cerpen ini disusun untuk memenuhi kebutuhan siswa untuk
menambah pengetahuan siswa.
Analisis cerpen ini disusun
dengan menggunakan ragam bahasa sederhana. Agar isi, maksud dan tujuan
penyusunan analisis cerpen ini dapat
dipahami dengan mudah. Penyusun telah berusaha sekuat tenaga dan pikiran
dalam menyusun analisis cerpen ini. Namun demikian tentunya masih banyak kekurangan-kekurangannya. Untuk
itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan isi analisis cerpen ini untuk masa yang akan datang.
Demikian makalah ini disusun dengan harapan semoga
bermanfaat bagi para pembacanya. Dan semoga allah SWT senantiasa memberikan
Taufiq dan Hidayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘alamin.
Kedondong,
20 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Biografi ............................................................................. 1
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................. 2
II.1 Pengertian Latar ........................................................... 2
II.2
Pengertian Penokohan .................................................. 5
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................... 7
III.1
Analisis Latar ............................................................... 7
III.2
Analisis Penokohan ...................................................... 9
BAB IV PENUTUP ............................................................................... 11
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................ 12
LAMPIRAN ............................................................................................... 13
Juru Masak
“Damhuri Muhammad”
Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa
hambar, sehambar Gulai Kambing dan Gulai Rebung karena bumbu-bumbu tak diracik
oleh tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tak pernah keberatan membantu
keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah
hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau orang biasa yang hanya
sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji tak pilih kasih, meski ia
satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, ia
masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit meracik bumbu, masih kuat
ia berjaga semalam suntuk.
“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung
ini, bagaimana kalau tanggungjawab itu dibebankan pada yang lebih muda?” saran
Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti,”
“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi
meracik bumbu,” balas Makaji waktu itu.
“Kalau memang masih ingin jadi juru masak, bagaimana kalau Ayah jadi
juru masak di salah satu Rumah Makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi
berjauhan dengan Ayah,”
Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orangtua selalu
begitu, walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski sepahit
empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang ia menimbang. Makaji
memang sudah lama menunggu ajakan seperti itu. Orangtua mana yang tak ingin
berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan kini, gayung telah bersambut, sekali
saja ia mengangguk, Azrial segera memboyongnya ke rantau, Makaji tetap akan
punya kesibukan di Jakarta, ia akan jadi juru masak di Rumah Makan milik anaknya
sendiri.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
“Kenduri siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah
sanggupi, malu kalau tiba-tiba dibatalkan,”
Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis
Mangkudun kalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab hengkangnya
ia dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak perempuan tunggal
babeleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia
dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini miliknya. Sejak dulu,
orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu beres di tangannya, mereka
tinggal menyebutkan sawah, ladang atau tambak ikan sebagai agunan, dengan
senang hati Mangkudun akan memegang gadaian itu.
Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat dari
akademi perawat di kota, tak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah
tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial itu
benar-benar akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan
siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer
sebagai sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan
mereka.
“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak
juru masak!” bentak Mangkudun, dan tak lama berselang berita ini berdengung
juga di kuping Azrial.
“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggungjawab. Renggo yakin kami
berjodoh,”
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan
saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham
kau?”
Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah
tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tapi tidak patut rasanya
Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati Azrial
melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati.
Awalnya ia hanya tukang cuci piring di Rumah Makan milik seorang perantau dari
Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi sedikit
dikumpulkannya modal, agar tidak selalu bergantung pada induk semang. Berkat
kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini sudah jadi
juragan, punya enam Rumah Makan dan duapuluh empat anak buah yang tiap hari
sibuk melayani pelanggan. Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal
mempersunting anak gadis Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai
orang Lareh Panjang paling sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa
Makaji ke Jakarta. Lagi pula, sejak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian
saja di rumah, tak ada yang merawat, adik-adiknya sudah terbang-hambur pula ke
negeri orang. Meski hidup Azrial sudah berada, tapi ia masih saja membujang.
Banyak yang ingin mengambilnya jadi menantu, tapi tak seorang perempuan pun
yang mampu luluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni,
atau jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.
Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan
ke langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka
peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar
kenduri bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang
dipertontonkan. Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna menyambut
kedatangan mempelai pria. Para pesilat turut ambil bagian memeriahkan pesta
perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu. Maklumlah, menantu
Mangkudun bukan orang kebanyakan, tapi perwira muda kepolisian yang baru dua
tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara, orang disegani di kampung
sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak membantu laki-laki itu, sejak dari
sebelum ia lulus di akademi kepolisian hingga resmi jadi perwira muda. Ada yang
bergunjing, perjodohan itu terjadi karena keluarga pengantin pria hendak
membalas jasa yang dilakukan Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar
hutang budi.
Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan
carikan jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih
bermartabat. Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi,
perwira muda polisi yang bila tidak ‘macam-macam’ tentu karirnya lekas
menanjak. Duh, betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tapi, pesta yang
digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh ekor kambing itu
tak begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang hanya datang di hari
pertama, sekedar menyaksikan benda-benda pusaka adat yang dikeluarkan untuk
menyemarakkan kenduri, setelah itu mereka berbalik meninggalkan helat, bahkan
ada yang belum sempat mencicipi hidangan tapi sudah tergesa pulang.
“Gulai Kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah Gulai Rebungnya encer seperti kuah sayur Toge. Kembung perut kami
dibuatnya,”
“Dagingnya keras, tidak kempuh. Bisa rontok gigi awak dibuatnya,”
“Dagingnya keras, tidak kempuh. Bisa rontok gigi awak dibuatnya,”
“Masakannya tak mengeyangkan, tak mengundang selera.”
“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”
Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria
diam-diam juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan menu
masakan yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer dan daging yang tak kempuh.
Padahal mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di Lareh Panjang
punya keistimewaan tersendiri, dan keistimewaan itu ada pada rasa masakan hasil
olah tangan juru masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?
“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu
mereka bertanya-tanya.
“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu,”
“Ah, menyesal kami datang ke pesta ini!”
Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji,
datang dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu
sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan
hari tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang telah kehilangan juru
masak handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga
ke telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan betapa
terpiuh-piuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya telah
dipersunting lelaki lain.
Drama
Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa
hambar, sehambar Gulai Kambing dan Gulai Rebung karena bumbu-bumbu tak diracik
oleh tangannya.
Di usia senja, ia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit
meracik bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk.
Azrial : “Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap
kenduri
di kampung ini, bagaimana kalau tanggungjawab itu dibebankan pada yang
lebih muda?”
Makaji : “Belum! Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak
lincah lagi
meracik bumbu,”
Azrial : “Kalau memang masih ingin jadi juru masak, bagaimana
kalau
Ayah jadi juru masak di salah satu Rumah Makan milik saya di Jakarta?
Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. memang sudah lama menunggu
tawaran itu. sekali ia mengangguk, Azrial akan memboyongnya ke rantau.
Makaji : “Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
Azrial : “Kenduri siapa?”
Makaji : “Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang orang.
Sudah
terlanjur Ayah sanggupi, malu kalau tiba-tiba dibatalkan,”
Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat dari
akademi perawat di kota,
Mangkudun : “Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya
menantu anak juru masak!”
Renggugeni : “Dia laki-laki taat, jujur, bertanggungjawab. Renggo yakin kami
berjodoh,”
Mangkudun : “Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan
Azrial. Akan saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”
Renggugeni : “Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”
Mangkudun : “Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu.
Paham kau?”
Dengan berat hati Azrial melupakan Renggogeni, dan ia pergi meninggalkan
kampong dengan membawa luka hati saat itu.
Awalnya ia hanya tukang cuci piring dirumah makan milik seorang
perantau, berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun azrial kini
sudah menjadi juragan, meski hidup azrial sudah berbeda, tetapi ia masih saja
membujang tak satupun perempuanmampu meluluhkan hatinya.
Kemudiandi rumah mengkudu begitu semarak tapi orang-orang lareh panjang
hanya datang dihari pertama, bahkan ada yang belumsampek mencicipi hidangan.
Tamu :
“Gulai Kambingnya tak ada rasa,” Kuah Gulai Rebungnya encer
seperti kuah sayur Toge.
Tamu Lain : “tak mengundang selera.” Pasti juru masaknya bukan Makaji!”
Para Tamu : “,mengapa Makaji tidak meracik bumbu? “Sia-sia saja kami
datang ke pesta ini!”
Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji,
datang dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput ayahnya. Kabar kepergian Makaji
sampai juga ke telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat
membayangkan betapa terpiuh-piuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar
kekasih pujaannya telah dipersunting lelaki lain.
Comments
Post a Comment